Perang topat: tradisi tanpa prinsip

Setiap tahun, ribuan umat hindu dan islam lombok menggelar tradisi budaya perang topat di Pura Kemalik Lingsar, Lombok Barat. Tradisi ini merupakan rangkaian ritual keagamaan Hindu pujawali sebagai wujud rasa syukur masyarakat Hindu terhadap penciptanya. Sedangkan prosesi perang topat (ketupat) dilakukan dengan saling melempar ketupat antara umat Hindu dan Islam. Sementara ketupat yang dijadikan senjata sendiri merupakan symbol dari berkah, diambil oleh petani untuk ditaburkan di sawah dengan maksud agar lahan pertanian mereka subur, sehingga menghasilkan panen yang melimpah.

Bagi sebagian pemangku adat, dan tentu saja para pengikutnya, prosesi ini setidaknya dianggap mengandung tiga manfaat umum: wujud syukur kepada Tuhan, wujud persamaan dan persatuan antara suku sasak dan bali di lombok, serta merupakan warisan budaya unik sebagai objek wisata. Oleh karena itu, seiring dengan gembar-gembor pariwisata NTB, tradisi ini kemudian dipungut dan dijadikan wahana budaya dan ikon wisata di Kabupaten Lombok Barat.

Kompromi dan penggadaian prinsip islam

Bagi saya pribadi, tradisi ini sederhananya merupakan proses akulturasi budaya. Budaya kompromi dari masyarakat jawa yang diadopsi oleh masyarakat bali dari pelarian Majapahit. Penguasa bali yang saat itu memperluas pengaruhnya ke lombok, mencoba menginfiltrasi masyarakat islam sasak dengan konsep kompromi. Muslim lombok diajak untuk mengakomodir kultur hindu dan melakukan kompromi terhadap prinsip-prinsipnya sendiri. Aneh rasanya ketika melihat orang islam percaya bahwa ketupat yang ditaburkan di lahan pertanian dari prosesi tersebut akan meningkatkan hasil panen mereka. Menurut guru-guru ngaji di berugak kampung, hal semacam ini sungguh telah masuk dalam kategori syirik kecil. Dan syirik merupakan dosa yang paling susah mendapatkan ampunan Allah. Lalu sudikah kiranya kita mewarisi dan mewariskan tradisi syirik semacam ini?

Jika hal ini terjadi dimasa lampau saja, mungkin masih dapat dimengerti. Kondisi keislaman sasak lombok masih belum begitu baik sehingga mereka tidak mampu membedakan mana yang prinsip mana yang non-prinsip, mana yang islam dan yang bukan. Lain ceritanya jika sekarang nilai-nilai berbau non-islam itu masih dipertahankan hingga sekarang. Ratusan tuan guru telah lahir dan berda’wah di lombok, baik lulusan universitas terbaik di Indonesia maupun di dunia, lalu mengapa mereka diam saja? Bukannya seharusnya kitamenganut prinsip mempertahankan tradisi lama yang baik dan dan meninggalkan yang buruk, apalagi yang tidak sesuai ajaran agama. Jangan hanya karena merupakan tradisi nenek moyang, maka mesti dipertahankan sebagaimana sedia kalanya. Sungguh malang, kita para anak cucu mereka yang dibebankan oleh tradisi lama tanpa mampu melakukan adaptasi dengan segala kebaruan ilmu yang kita peroleh saat ini.

Ironi gizi buruk dan perang topat

Seorang balita roboh tak mampu menggapai kamp makanan PBB, kematiannya ditunggu burung bangkai yang siap memangsanya

Seorang balita roboh tak mampu menggapai kamp makanan PBB, kematiannya ditunggu burung bangkai yang siap memangsanya

Tahun 1994 Kevin Carter meninggal karena syok kemudian bunuh diri setelah mengambil gambar seorang anak kelaparan yang harus meregang nyawa di jalan ketika akan mengambil jatah makanan di kamp PBB. Di belakang anak tersebut mengintai burung pemakan daging yang menunggu anak tersebut tewas untuk disantapnya. Karena foto tersebut Kevin Carter meraih penghargaan Pulitser. Bagaimanapun juga, akal pikiran yang lurus akan menerima ini sebagai kewajaran, mengingat peristiwa ini terjadi ditengah perang etnis yang berkepanjangan.

Penderita busung lapar di NTB

Penderita busung lapar di NTB

Tidak jauh dari tempat pelaksanaan perang topat, di kabupaten yang sama, puluhan balita dalam perawatan karena menderita busung lapar. Mereka meregang nyawa karena kebutuhan dasar untuk pertumbuhannya saja tidak mampu dipenuhi. Nutrisi yang mampu disediakan oleh orang tua tidak mencukupi karena hisapan hidup yang begitu melarat. Di provinsi tempat dilaksanakannya tradisi lempar-lempat makanan ini, 1,6 juta rakyat masih dipaksa hidup dengan kurang dari 2100 kalori dan pendapatan dibawah Rp.201 ribu perbulan.  Jika standarnya dinaikkan menjadi Rp.360 ribu perbulan, maka lebih dari setengah penduduknya dibawah garis kemiskinan. Demi mempertahankan anugrah yang dinamakan kehidupan, sebagian merek ada yang rela disetrika, digunting bibirnya, atau pulang hanya berupa jasad tanpa nyawa, diperlakukan layaknya budak tanpa hak di negara orang. Lalu bagaimana akal pikiran yang lurus dapat membenarkan acara lempar-melempar bahan makanan ini? Orang bijak bilang bahwa “kita harus menjaga dan memelihara segala apapun yang memberikan kepada kita kehidupan”. Itu berlaku baik dalam keadaan sedikit maupun banyak. Coba perhatikan ketika sisa-sisa nasi dijadikan kerupuk, atau kerak nasi (empik) direndam untuk dijadikan bahan sarapan keesokan harinya. Tentunya tidak akan terlupa oleh kita, cerita tentang menangisnya nasi yang tertinggal tak termakan. Orang-orang dulu bilang nasi yang basi menjadi basah karena air mata mereka yang menangis harus terbuang tanpa dimakan. Sekali lagi saya ingin bertanya, akal lurus macam apa yang membenarkan ironi kelaparan macam ini?

Kita mungkin bukan Kevin Carter yang syok lalu bunuh diri melihat hal ini. Namun kita harus menyuaran yang benar dari buah pikir logis tetang sesuatu secara jujur. Sungguh, segala sesuatu yang baik itu, bersumber dari pikiran yang baik. Jangan sampai hanya karena nenek moyang kita begitu maka serta merta kita ikut saja. Jangan sekali-kali karena demam pariwisata ketololan kita akan kita pertontonkan pada orang-orang asing.

Tentu banyak yang akan bilang bahwa ini hanya peristiwa sekali setahun. Hikmah dan berkahnya tentu jauh lebih banyak daripada apa yang dihabiskan. Kebahagian, hiburan dan kegembiraan yang diperoleh sedikit tidak cukup layak untuk dana yang dikeluarkan. Sungguh sangat  berlebihan jika hal sebaik dan semulia ini harus dihentikan dengan alasan yang selemah itu.

Imam Atoillah pernah menulis dalam kitabnya yang mashur, Al-hikam, “Sungguh apa yang terlontar dari mulut seseorang adalah cerminan dari hatinya”. Sungguh apa yang menjadi warisan tradisi budaya adalah cerminan dari watak dan prinsip masyarakat itu. Sungguhkah kompromi tanpa prinsip dan ironi nyanyian kelaparan adalah cerminan watak dan budaya masyarakat muslim sasak. Saya yakin, bahwa perdebatan akan menjadi begitu panjang apalagi jika mereka yang merasa sebagai pemangku adat harus membela tradisi tersebut. Lalu kita akan terbentur pada kitab atau hukum apa yang akan dijadikan acuan untuk menilainya.

Jika kita memang berusaha untuk mengambil apa yang baik dari tradisi masa lalu, maka sudah seyogyanya kita harus melakukan adaptasi. Perbaiki yang salah dan menggantinya dengan yang benar. Luruskan yang bengkok dan perbaiki apa yang rusak. Seiring dengan berlalunya waktu, lautan ilmu manusia semakin luas untuk mampu digunakannya sebagai timbangan tentang apa yang benar dan baik dan tidak melanggar prinsip-prinsip agama.

Wallahu A’lam

1 Comment

  1. satar said,

    July 31, 2012 at 5:49 am

    Tyang anak Lombok barat yg setuju dgn uraian ini dan memang dr dl sdh sedih melihat pelestarian tradisi yg bertolak belakang dgn ajaran islam..salam kenal buat bapak yg luar biasa ini


Leave a reply to satar Cancel reply